Selasa, 06 Januari 2009

Dinasti abbasiyah

DINASTI ABBASIYAH
(Kemajuan dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Agama Dan Syari’at)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Istilah “peradaban Islam” merupakan terjemahan dari kata Arab, yaitu al-Hadharah al-Islamiyyah. Istilah Arab ini sering juga diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “kebudayaan Islam”. Padahal, istilah kebudayaan dalam bahasa arab adalah al-Tsaqafah. Di Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata : “kebudayaan” (Arab/al-tsaqafah dan culture/Inggris) dengan “peradaban” (civilization/Inggris dan al-hadharah/Arab) sebagai istilah baku kebudayaan. Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang, kedua istilah itu dibedakan. Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat. Sedangkan, manifestasi-manifestasi kemajuan tekhnis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban. Kalau kebudayaan lebih banyak di reflesikan dalam seni, sastra, religi (agama) dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi.
Menurut Koentjoroningrat, kebudayaan paling tidak mempunyai tiga wujud, (1) wujud ideal, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud kelakuan, yaitu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan (3) wujud benda, yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya.
Peradaban dalam Islam, dapat ditelusuri dari sejarah kehidupan Rasulullah, para sahabat (Khulafaur Rasyidin),dan sejarah kekhalifahan Islam sampai kehidupan umat Islam sekarang. Islam yang di wahyukan kepada Nabi Muhammad saw telah membawa bangsa arab yang semula terbelakang, bodoh, tidak terkenal, dan di abaikan oleh bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju. Bahkan kemajuan Barat pada mulanya bersumber pada peradaban islam yang masuk ke eropa melalui spanyol. Islam memang berbeda dari agama-agama lain, sebagaimana pernah diungkapkan oleh H.A.R. Gibb dalam bukunya Whither Islam kemudian dikutip M.Natsir, bahwa, “Islam is andeed much more than a system of theology, it is a complete civilization” (Islam sesungguhnya lebih dari sekedar sebuah agama, ia adalah suatu peradaban yang sempurna). Landasan “peradaban islam” adalah “kebudayaan islam” terutama wujud idealnya, sementara landasan “kebudayaan islam” adalah agama. Jadi, dalam islam, tidak seperti pada masyarakat yang menganut agama “bumi” (nonsamawi), agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari tuhan.
Maju mundurnya peradaban islam tergantung dari sejauh mana dinamika umat islam itu sendiri. Dalam sejarah islam tercatat, bahwa salah satu dinamika umat islam itu dicirikan oleh kehadiran kerajaan-kerajaan islam diantaranya Umayah dan Abbasiyah, Umayah dan Abbasiyah memiliki peradaban yang tinggi, diantaranya memunculkan ilmuwan-ilmuwan dan para pemikir muslim.
Sejak terbunuhnya Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir dari Dinasti Umayyah oleh seorang pemuda berdarah Persia yang gagah berani dan cerdas bernama Abu Muslim Al- Khurasani di Fusthath, Mesir pada bulan Dzulhijjah 132 H bertepatan dengan tahun 750 M, maka berakhirlah kekuasaan Dinasti Bani Umayyah yang berkuasa kurang lebih 90 tahun. Dan itu berarti secara resmi sejak itu kekuasaan berpindah ke tangan Bani Abbas yang kemudian lebih dikenal dengan Daulah Abbasiyah.
Daulah Abbasiyah berkuasa kurang lebih selama lima abad, yaitu dari tahun 750 M hingga tahun 1258 M. Masa pemerintahan yang panjang tersebut telah mengukir sejarah keemasan (golden age) dalam peradaban Islam, terutama pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun. Ummat Islam benar-benar berada di puncak kejayaan dan memimpin peradaban dunia saat itu.
Berbagai kemajuan dan perkembangan yang berhasil dicapai selama masa kekuasaan Daulah Abbasiyah, antara lain :
1. Ekspansi wilayah kekuasaan dan pengaruh Islam, dari Baghdad sebagai pusat pemerintahan bergerak ke wilayah Timur Asia Tengah, dari perbatasan India hingga Cina. Ini terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mahdi (158-169 H/775-785 M).
2. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan agama dan syari’at
3. Pembangunan tempat pendidikan dan tempat peribadatan
4. Kemajuan ilmu pengetahuan, sains dan teknologi
5. Perkembangan politik, ekonomi dan administrasi
Selain itu, pada masa Daulah Abbasiyah bermunculan beberapa tokoh Ilmuan Islam, seperti Al Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al Ghazali, Al Khawarazimi, Rayhan Al Bairuni, Ibnu Mansur Al Falaky, At Tabrani, Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, Jahm Ibnu Sofyan, Washil bin Atha’, Sibawaih, dan lain-lain. Bahkan para ilmuan barat banyak belajar pada mereka.
Dari perjalanan dan rentang sejarah, ternyata Bani Abbas dalam sejarah lebih banyak berbuat ketimbang bani Umayyah. Pergantian Dinasti Umayyah kepada Dinasti Abbasiyah tidak hanya sebagai pergantian kepemimpinan, lebih dari itu telah mengubah, menoreh wajah dunia Islam dalam refleksi kegiatan ilmiah. Pengembangan ilmu pengetahuan pada Bani Abbas merupakan iklim pengembangan wawasan dan disiplin keilmuan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis memfokuskan pembahasan pada tiga masalah, yaitu :
1. Bagaimana latar belakang berdinya Dinasti Abbasiyah?
2. Bagaimana perkembangan ilmu pengetahuan agama dan syari’at yang terjadi di masa daulah Bani Abbas?
3. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya perkembangan pengetahuan agama dan syari’at yang begitu pesat di masa daulah Bani Abbas juag faktor-faktor Dinasti ini bisa bertahan hingga kurang lebih lima abad?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Berdiri dan Priodeisasi Dinasti Abbasiyah
Awal kekuasaan Dinasti Bani Abbas ditandai dengan pembangkangan yang dilakukan oleh Dinasti Umayah di Andalusia (Spanyol). Di satu sisi, Abd al-Rahman al-Dakhil bergelar amir (jabatan kepala wilayah ketika itu); sedangkan disisi yang lain, ia tidak tunduk kepada khalifah yang ada di Baghdad. Pembangkangan Abd al-Rahman al-Dakhil terhadap Bani Abbas mirip dengan pembangkangan yang dilakukan oleh muawiyah terhadap Ali Ibn Abi Thalib. Dari segi durasi, kekuasaan Dinasti Bani Abbas termasuk lama, yaitu sekitar lima abad.
Abu al-Abbas al-Safah (750-754 M) adalah pendiri dinasti Bani Abbas. Akan tetapi karena kekuasaannya sangat singkat, Abu ja’far al-Manshur (754-775 M) yang banyak berjasa dalam membangun pemerintahan dinasti Bani Abbas. Pada tahun 762 M, Abu ja’far al-Manshur memindahkan ibukota dari Damaskus ke Hasyimiyah, kemudian dipindahkan lagi ke Baghdad dekat dengan Ctesiphon, bekas ibukota Persia. Oleh karena itu, ibukota pemerintahan Dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia.Abu ja’far al-Manshur sebagai pendiri muawiyah setelah Abu Abbas al-Saffah, digambarkan sebagai orang yang kuat dan tegas, ditangannyalah Abbasiyah mempunyai pengaruh yang kuat. Pada masa pemerintahannya Baghdad sangatlah disegani oleh kekuasaan Byzantium.
Kekuasaan dinasti Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah, melanjutkan kekuasaan dinasti Umayah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad saw. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d 656 H (1258 M).
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social dan budaya. Berdasarkan pola pemerintahan dan pola politik itu para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode :
Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan dinasti Bani sejak dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif disekitar kota Baghdad.



B. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Agama dan Syari’at Di Masa Daulah Bani Abbas
Doktor Hasan Ibrahim Hasan dalam bukunya Tarikh Al-Islam juz 2 , beliau mengklasifikasikan ilmu kedalam dua bagian, yaitu: Al Ulum al-Naqliyah (Ilmu Keagamaan dan Syari'at) yang kadang disebut juga dengan Ulum al- Qadimah dan Al Ulum Al Aqliyah (Ilmu-ilmu Umum) yang kadang disebut juga dengan Ulumul al-Ajam (Ilmu-ilmu Asing). Adapun yang termasuk dalam Al Ulum al Naqliyah (Ilmu-ilmu Keagamaan Syari'at) adalah: Ilmu tafsir, Ilmu Qira'at, Ilmu Hadits, Fiqhi, Ilmu Kalam, Nahwu (Tata Bahasa), Ilmu Bahasa dan Bayan (Retorika), serta Adab (Ilmu Sastra). Sedangkan yang termasuk dalam kategori Al 'Ulum Al 'Aqliyah (Ilmu-ilmu Umum) meliputi: Filsafat, Ilmu Teknik, Ilmu Perbintangan (Astronomi), Musik, Kedokteran,
Ilmu Sihir dan Kimia, Sejarah dan Geografi.
Berangkat dari klasifikasi di atas, maka berikut ini akan diuraikan perkembangan ilmu pengetahuan Agama dan Syari'at (Al Ulum al-Naqliyah atau Ulum al- Qadimah) yang terjadi di zaman pemerintahan Bani Abbas.

Perkembangan Ilmu dan Metode Tafsir Al Qur’an
Perkembangan metode tafsir di masa Daulah abbasiyah ditandai dengan munculnya dua metode penafsiran Al Qur’an, yaitu tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi .
Diantara para ahli tafsir bi al-ma’tsur adalah:
a. Ibn Jarir Al-Thabari dalam tafsirnya Jami’Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an yang lebih dikenal dengan tafsir Al-Thabari. Tafsir ini merupakan tafsir yang terpenting dari tafsir bi al-ma’t (interpretasi taradisional),hasil karya beliau terdiri dari 30 jilid dan terkenal karena ketelitiannya dan kesaksamaannya. Banyak materinya berasal dari sumber autentik Yahudi seperti yang ditulis oleh Ka’b Al-Ahbar dan Wahb Ibn Munabbin.
b. Ibn ‘Athiyah Al-Andalusy
c. As Sudai yang mendasarkan tafsirnya kepada Ibn Abbas dan Ibn Mas’ud Radiyallahu ‘Anhuma.
d. Muqatil Ibn Sulaiman yang tafsirnya terpengaruh oleh kitab Taurat.
Sedangkan ahli tafsir tafsir bi al-ra’yi adalah:
a. Abu Bakar Asam (Mu’tazilah)
b. Abu Muslim Muhammad ibn Bahar Isfahany (Mu’tazilah)
c. Ibn Jarul Asadi (Mu’tazilah), dan
d. Abu Yunus Abdussalam (Mu’tazilah)
Kedua metode tafsir di atas sangat berkembang di masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra’yi (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fikih dan, terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan ummat Islam sangat mempengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut
Perkembangan Ilmu Hadits
Hadits pada zamannya hanya bersifat penyempurnaan pembukuan dari catatan dan hafalan para sahabat. Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah hadits mulai diklasifikasikan secara sistematis dan kronologis. Pengklasifikasian itu secara ketat dikualifikasikan sehingga kita kenal dengan klasifikasi hadits Shahih, Dhaif, dan Maudhu. Bahkan dikemukakan pula kritik sanad dan matan, sehingga terlihat jarah dan takdil rawi yang meriwayatkan hadits tersebut.
Pada masa ini muncullah ahli-ahli hadits, antara lain:
a. Imam Bukhori, yaitu Imam Abu Abdullah Muhammad Ibn Abi al-Hasan Al-Bukhari. Lahir di Bukhara tahun 194 H dan wafat tahun 256 H di Baghdad. Imam Bukhari memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh ahli hadits sebelumnya, yaitu dalam hal pengumpulan dan pengklasifikasian hadits Nabi. Beliau tidak puas dengan mengumpulkan hadits-hadits yang ada di daerahnya dimana beliau dibesarkan, tetapi beliau juga tinggal sementara di daerah-daerah lain dan perjalanannya untuk mengumpulkan hadits-hadits Nabi memakan waktu 16 tahun. Disamping itu beliau memiliki kemampuan yang luar biasa dalam membedakan antara hadits shahih dan hadits palsu. Tingkatan dan kemampuan yang sangat kuat membantu sekali dalam mengumpulkan hadits-hadits. Bukunya yang berjudul Shahih al-Bukhari (Jami’ al-Shahih) merupakan sumber dari hadits shahih yang terpenting. Beliau mengumpulkan hadits sebanyak 7.275 hadits, termasuk hadits-hadits yang diulangi, jika kita menghapus sejumlah hadits -hadits yang diulangi dan -hadits yang kurang sambungan para saksinya, jumlahnya akan berkurang 3.000 hadits diriwayatkan bahwa Imam bukhari sudah menyeleksi kira-kira 300.000 yaitu 1-2 %. Hal ini menunjukkan betapa telitinya Imam Bukhari didalam memilih dan menyelidiki hadits-hadits yang ia kumpulkan selama perjalannya yang panjang. Imam Bukhari menyusun hadits shahihnya (shahih al-Bukhari) dalam 77 bab/fasal, setiap bab terdiri dari hadits-hadits yang bersangkutan dengan isi buku yang sesuai yaitu bab thaharah, ibadah dan mulainya wahyu Rasul. Beliau menetapkan metode dan peraturan yang dikenal dengan ‘Matan Al Bukhari”.
b. Imam Muslim, yaitu Imam Abu Muslim Ibn Al-Hajjaj Al Qushairy An Naishabury, wafat tahun 261 H di Naishabur. Diantara karyanya yang monumental adalah Shahih Muslim. Seperti halnya dengan Imam Bukhari, Imam Muslim terkenal pula dengan perjalannya yang lama untuk mencari hadits-hadits Nabi Shallalahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau menetap sementara Hijaz, Siria, Mesir dan terutama Iraq yang ia kunjungi beberapa kali. Hubungannya dengan Imam Bukhari di Naishabur merupakan bantuan besar baginya. Koleksi hadits-hadits Muslim dikenal dengan “ShahihMuslim”. Beliau juga mengikuti contoh Bukhari dalam menghapus hadits yang diulangi dan mengklasifikasikan menurut isinya. Namun demikian beliau tidak memberikan kepala bab dalam koleksinya.
c. Ibn Majah, karyanya adalah Sunan Ibn Majah
d. An Nasai, karyanya antara lain adalah Sunan al-Nasai

Perkembangan Ilmu Qira’at
Qira’ah Sab’ah menjadi termasyhur pada permulaan abad kedua hijriyah, dibukukan sebagai sebuah ilmu pada penghujung abad ketiga hijriyah di Baghdad oleh Imam Ibn Mujahid Ahmad bin Musa Ibnu Abbas, beliau amat teliti, tidak mau meriwayatkan kecuali dari orang yang kuat ingatannya (dhabit), dapat dipercaya dan panjang umur dalam mengikuti qira’ah. Disamping itu harus ada kesepakatan mengambil atau memberi darinya.
Dari data ini dapat diambil kesimpulan bahwa di zaman pemerintahan Bani Abbas perkembangan ilmu Qira’at mencapai puncaknya.
Diantara ahli qira’at yang terkenal di masa pemerintahan Bani Abbas periode Pertama, adalah: 1.Yahya bin Al-Harits Adz Dzamary wafat tahun 145 H2.Hamzah bin Habib Az Zayyat wafat tahun 156 H di zaman pemerintahan khalifah Abu Ja’far Al Manshur (136 – 158 H) 3.Abu Abdirrahman Al Muqry wafat tahun 213 H, dan 4.Khalaf Bin Hisyam Al Bazzaz wafat tahun 229 H.

Perkembangan Ilmu Fiqhi
Dalam bidang fiqih, pada masa ini lahir fuqaha legendaris yang kita kenal, seperti Imam Abu Hanifah (700 – 767 M), Imam Malik (713 – 795 M), Imam Syafi’i (767 – 820 M) dan Imam Ahmad Ibn Hambal (780 – 855 M). Imam Abu Hanifah sangat teliti dalam menerima hadits dan sangat ketat dalam menyeleksi Rijal Hadits, beliau tidak menerima khabr (hadits) dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kecuali diriwayatkan secara mutawatir atau disepakati oleh para fuqaha di daerah kekuasaan ummat Islam. Tidak didapati satu bukupun tentang fiqhi Abu Hanifah, kecuali Ibnun Nadim menyebutkan beberapa karyanya, yaitu Al Fiqh al-Akbar, yang merupakan tulisan tentang aqidah dan Risalah kepada Al Busty, Kitab al-Alim wa al-Mua’llim, buku bantahan terhadap paham qadariyah (Ar Raddu ‘ala al-Qadariyah, dan Ilmu Darat dan Lautan, Timur dan Barat, Jauh dan Dekat. Diantara murid-murid Abu Hanifah, bisa disebutkan, yaitu Layts Ibn Sa’d yang diberi kekuasaan untuk memimpin para hakim (Qadhi) di Mesir. Dia memperoleh kehormatan dan kekaguman dengan ketajaman akalnya dari khalifah Abbasiyah bernama Abu Ja’far Al Manshur yang menemuinya di Baital Maqdis. Karena kepandaiannya sehingga Al Layts berhasil memasukkan uang ( zakat, infak dan sedekah) sebanyak 5000 dinar pertahun yang dibagi-bagikan kepada para ahli Ilmu sebagai bantuan dan penghargaan kepada mereka.
Dan diantara fuqaha lain yang ada pada zaman pemerintahan Bani Abbas adalah Malik Bin Anas lahir pada tahun 93 atau 97 H dan wafat pada tahun 179 H.(713 – 795 M). Beliaulah yang pertama kali menulis buku-buku tentang ilmu-ilmu agama di zaman Bani Abbas, buku beliau yang sangat terkenal adalah Al Muwaththa buku pertama tentang Fiqhi Islami, buku yang lain adalah Al Mudawwanah, yaitu buku yang berisi kumpulan risalah tentang fiqhi Imam Malik, dikumpulkan oleh muridnya yang bernama Asad bin Al Farrat An Naisabury yang isinya mencakup 36.000 masalah.
Diantara murid-murid Imam malik terdapat Asy-Syaibani, Asy-Syafi’I, Yahya Al Layts Al-Andalusy, Abdurrahman Ibn al-Qasim di Mesir dan Asad Ibn Al-Furat Al-Tunisi. Filosof Ibn Al-Ruyd dan pengarang Bidayat al-Mujtahid termasuk pengikut Imam Malik. Mazhab Imam Malik banyak dianut di Hijaz, Maroko, tunis, Tripoli, Mesir selatan, Sudan, Bahrain dan Kuwait, yaitu di dunia Islam sebelah barat dan kurang di dunia Islam sebalah timur.
Dan diantara Imam ahli fiqh yang terkenal di masa Bani Abbas adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i. Beliau menggabungkan dua madzhab, yaitu madzhab naql yang bergantung pada hadits dianut oleh Imam Malik (Madzhab Malik) dan madzhab ‘aql (rasional) yang dipelopori oleh Abu Hanifah di Iraq. Beliau yang pertama kali berbicara tentang Ushul Fiqh dan pertama kali meletakkan dasar-dasarnya.
Imam Syafi’i banyak menulis buku tentang Fiqh Islam, diantaranya Kitab Al Masbut Al Fiqh, Kitab al Umm yang beliau diktekan kepada salah satu muridnya di Mesir. Banyak ahli fiqh yang dipengaruhi olehnya.
Di antara murid-murid Imam Syafi’i di Irak terdapat Ahmad Ibn Hambal, Daud Al-Zahiri dan Abu Ja’far Ibn Jarir Al-Tabari dan di Mesir Isma’il Al-Muzani, dan Abu Ya’qub Al-Buwaiti, Abu Hamid Al-Ghazali, Muhy Al-Din Al-Nawawi, Taqiu Al-Din Al-Subki, Taju Al-Din Abdul Wahhab Al-Subki dan Jalal Al-Din Al Suyuti, termasuk dalam golongan pengikut-pengikut besar dari Asy-Syafi’i. Mazhab beliau banyak dianut di daerah pedesaan Mesir, Palestina, Suria, Lebanon, Hijaz, India, Indonesia dan juga Persia dan Yaman.
Ulama lain yang menonjol pada zaman Bani Abbas adalah Imam Ahmad Bin Hambal (meninggal dunia pada tahun 241 H/855 M), menyibukkan dirinya sebagai ahli hadits (tradisionalist), para ahli fiqh dengan suara bulat menyetujui bahwa Ahmad Ibn Hambal merupakan ahli hadits, tetapi disana bermacam-macam pendapat apakah dia seorang ahli fiqh. Tabari, seorang ahli dalam bidang sejarah dan tafsir Al-Quran terkemuka, menimbulkan perasaan gerang para pengikut Hambali karena dia menganggap Ahmad ibn Hambal sebagai ahli Hadits dari pada legislator. Ketika Tabari meninggal dunia di Baghdad, pengikut-pengikut Ahmad Ibn Hanbal mengadakan upacara dan mencegah penguburannya pada siang hari. Mayat Tabari dikubur di rumahnya pada malam hari.
Ahmad Ibn Hambal menentang dogma baru dengan keras, dogma yang mempertahankan bahwa Al-Quran adalah makhluq. Dogma ini sesuai dengan pandangan Mu’tazilah yang dibantu oleh khalifah-khalifah Abbasiyah, Ma’mun dan para penggantinya.
“Kalau tidak karenanya”. Kata Nicholson, mengutip daari seorang ahli sejarah, Abu al-Muhasin “Kepercayaan dari orang-orang banyak pasti akan berkurang”. Baik ancaman maupun permohonan akan menggoncangkan resolusinya, dan ketika ia dicambuk, dengan perintah khalifah Mu’tasim, Istana dalam keadaan bahaya dengan ancaman-ancaman dari rakyat jelata yang sudah berkumpul di luar istana untuk mendengarkan hasil pemeriksaan pengadilan, mereka tidak mendeklarasikan Al-Qur-an adalah merupakan makhluk, akan resiko dicambuk atau disiksa Abul-Wafa’ Ibn Aqil, Abdul Qadir Al-Jalili, Abul Faraj Ibn Al-Jawzi, Muwaffaq Al-Din Ibn Qudama, Taqiu Al-din Ibn Taimiyah, Muhammad Ibn Al-Qayyim dan Muhammad Abd al-Wahhab adalah pengikut-pengikut termasyhur dari Imam Ahmad Ibn Hambal. Penganut mazhab beliu terdapat di Irak, Mesir, Suria, Palestina dan Saudi Arabia. Diantara keempat mazhab yang ada sekarang, mazhab Hambalilah yang paling kecil penganutnya.
Di samping empat pendiri mahzab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhabnya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.

Perkembangan Ilmu Kalam
Perdebatan para ahli mengenai soal dosa, pahala surga dan neraka, serta pembicaraan mereka mengenai ketuhanan dan tauhid, menghasilkan suatu ilmu, yaitu ilmu tauhid atau ilmu kalam.
Diantara aliran ilmu kalam yang berkembang adalah Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Para pelopornya adalah Hahm Ibn Safwan, Ghilan al-Dimisyq, Wasil ibn ‘Atha’, al-Asy’ari dan Imam al-Ghazali.

Perkembangan Ilmu Bahasa
Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang sangat efektif. Ia tidak hanya dipergunakan dalam berkomunikasi lewat lisan, tetapi juga dipergunakan sebagai alat untuk mengekspresikan seni, di samping sebagai bahasa ilmiah.
Diantara ilmu bahasa yang berkembang pada waktu itu adalah Nahwu, Sharaf, Bayan, Bad’i dan Arudh. Pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyyah ilmu ini mengalami perkembangan sangat pesat. Sebab bahasa Arab dijadikan sebagai bahasa ilmu pengetahuan, di samping sebagai alat komunikasi antara bangsa. Pusat perkembangan ilmu bahasa Arab adalah Kufah dan Bashra. Diantara para ahli ilmu bahasa yang mempunyai peran besar dalam pengembangan ilmu bahasa adalah:
a. Sibawaih (wafat tahun 183 H). Karyanya terdiri dari dua jilid setebal 1000 halaman.
b. Al-Kisai, wafat tahun 198 H.
c. Abu Zakaria al-Farra (wafat tahun 208 H). Kitab Nahwunya terdiri dari 6000 halaman lebih.

Perkembangan Ilmu Sain
Keberahasilan umat Islam pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah dalam pengembangan ilmu pengetahuan sains dan peradaban Islam secara menyeluruh, tidak terlepas dari berbagai faktor yang mendukung. Di anataranya adalah kebijakan politik pemerintah Bani Abbasiyah terhadap masyarakat non Arab ( Mawali ), yang memiliki tradisi intelektual dan budaya riset yang sudah lama melingkupi kehidupan mereka. Meraka diberikan fasilitas berupa materi atau finansial dan tempat untuk terus melakukan berbagai kajian ilmu pengetahuan malalui bahan-bahan rujukan yang pernah ditulis atau dikaji oleh masyarakat sebelumnya. Kebijakan tersebut ternyata membawa dampak yang sangat positif bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan sains yang membawa harum dinasyi ini.
Dengan demikian, banyak bermunculan banyak ahli dalam bidang ilmu pengetahaun, seperti Filsafat, filosuf yang terkenal saat itu antara lain adalah Al Kindi ( 185-260 H/ 801-873 M ). Abu Nasr al-faraby, ( 258-339 H / 870-950 M ) dan lain-lain.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban islam juga terjadi pada bidang ilmu sejarah, ilmu bumi, astronomi dan sebagainya. Dianatar sejarawan muslim yang pertama yang terkenal yang hidup pada masa ini adalah Muhammad bin Ishaq ( w. 152 H / 768 M ).

Perkembangan Adab (Ilmu Sastra)
Ketika seorang penyair muncul di salah satu keluarga bangsa Arab, tetangga-tetangga akan berkeliling mengelilingi keluarga ini dan minta diijinkan untuk menikmati syair-syairnya. Saat/kesempatan ini akan diperingati. Orang-orang wanita akan mengikuti bersama-sama dalam kelompok-kelompok ini, mempermainkan kecapi, karena penyair merupakan penjaga kehormatan mereka, senjata untuk mengelakkan fitnah, mengabdikan tingkah laku luhur mereka dan menetapkan kemasyhuran mereka.
Penyair bangsa Arab sebelum zaman dianggap sebagai orang yang mempunyai ilmu pengetahuan tinggi, tukang sihir bergabung dengan jin dan setan dan menggantungkan kepada mereka untuk syair magic yang diinspirasikan kepadanya.Di antara para penyair terkenal yaitu:
a. Imri’ul-Qays, kakeknya merupakan raja dari suku Kinda.
b. Turrafa ibn al-‘Abd, anggota suku Bake di Bahrein, menetap di teluk Persia.
c. Amr ibn Khulthum yang berasal dari suku Taghlib dan Ibunya Layla adalah saudara perempuan penyair dan prajurit terkenal. Muhalil.
d. Harrir ibn Hiullisa dari suku Bakr.
e. Zihayr ibn Abi Sulma dari suku Muzayna.
f. Labib ibn Abi Rabi’a dari suku banu Amir.
g. Ziyad ibn Mu’awiyyah (terkenal dengan an-Nibigha al Dubhyani) dari suku
Dubhyan, hidup di istana Ghassan di perbatasan Syiria dan Hira. Mereka 7 orang penyair tadi sudah menjadi kekal dan syair-syair mereka masih dipelajari di dunia Islam dan institut-institut study orientalis di dunia barat.
Syair Abbasiyah Di masa pemerintahan Abbasiyah, trend/aliran baru dalam gaya bahasa, darti dan buah pikiran muncul. Syair-syair baru memperlihatkan keaslian dan keunggulannya, sebagai perbandingan dengan syair-syair di zaman jahiliyyah, masa transisi dan masa pemerintahan dinasti Umayyah. Para penyair bersumpah menigngalkan diskripsi tentang kehidupan Dedorian dan merasa tertarik dengan perkemahan di Padang pasir dalam pembukuan syair pujian mereka, menghina pemujaan terhadap barang antik yang berlebih-lebihan dalam salah satu Syairnya Abu Nuwas mengatakan :
“Biarlah angin selatan membasahi pandangan yang sunyi dengan air hujan. Dan suatu ketika masa akan menghapuskan apa yang segar dn hujan, biarkan mereka minum beberapa mangkuk susu dan meninggalkan mereka sendiri. Kepada siapa kehidupan yang lebih baik diberikan”.

Kemajuan dalam Bidang Politik
Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan ini seperti sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-khawarij di Afrika utara, gerakan zindik di Persia, gerakan Syi’ah dan konflik antar bangsa serta aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat dipadamkan.

Kemajuan dalam Bidang Ekonomi
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai nmeningkat dengan peningkatan di sector pertanian, melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara timur dan barat juga banyak membawa kekayaan. Bahsrah menjadi pelabuhan yang penting.

Kemajuan dalam Bidang Sosial
Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mun (813-833 M). kekayaan yang banyak di manfaatkan Harun Al-Rasyid untuk keperluan social. Rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak 800 orang dokter. Disamping itu pemandian-pemandian juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini, kesejahteraan social, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya.

C. Faktor-Faktor Penyebab Perkembangan Ilmu Pengetahuan Agama dan Syari’at Di masa Daulah Bani Abbas dan Faktor-Faktos Pemerintahan Abbasiyah Bertahan Lama.
Jika dianalisa dari berbagai referensi yang penulis dapatkan, maka faktor-faktor penyebab berkembang pesatnya Ilmu Pengetahuan Agama dan Syari’at di masa pemerintahan Abbasiyah adalah sebagai berikut:
Pertama, para penguasanya cinta kepada ilmu dan banyak memberikan motivasi kuat kepada para ilmuan untuk melakukan kajian-kajian ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu. Baik ilmu agama dan syari’at (Al Ulum al- Naqliyah) yang merupakan fondasi kehidupan, maupun ilmu-ilmu umum (Al Ulum al-Aqliyah) yang merupakan penopang kehidupan. Adalah Al Ma’mun, khalifah pengganti Al-Rasyid, dikenal sebagi khalifah yang sanagt cinta kepada ilmu.
Kedua, sikap dan kebijaksanaan para penguasanya dalam mengatasi segala persoalan, termasuk dalam sikap politiknya. Sebab sikap politik dinasti Abbasiyah berbeda dengan sikap politik yang dijalankan pemerintahan Bani Umayyah. Dinasti Umayyah sangat fanatik terhadap keturunan Arab (Arab Orientid), tetapi dinasti Abbasiyah lebih bersifat demokratis, meskipun tampuk pemerintahan masih tetap berada di tangan khalifah dari keturunan Arab. Dalam bidang-bidang lainnya, bisa saja dipegang oleh orang-orang Persia ataupun orang-orang Turki. Disamping itu ketika Bani Abbas berkuasa, beberapa daerah berhasil ditaklukkan kemudian dikembangkan menjadi pusat-pusat peradaban Islam, seperti Baghdad, Isfahan, Tabaristan, Ghasranah, Halab, Bukhara, Cordova, Valensia dan Murcia. Pada masa inilah bangsa-bangsa yang bernaung di bawah kekuasaan Islam menjadi aneka suku bangsa dengan aneka corak ilmu pengetahuan dan peradabannya. Fakta-fakta inilah semua yang memungkinkan terjadinya transformasi ilmu pengetahuan dan peradaban. Salah satu kebijakan politik yang sangat kondusif untuk perkembangan ilmu pengetahuan di zaman Bani Abbas adalah kebebasan berpikir dan berpendapat diakui sepenuhnya, akal dan pikiran dibebaskan dari belenggu taklid.
Ketiga, penyediaan sarana dan prasarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Abbasiyah mulai didirikan sekolah dalam bentuk seperti sekarang dengan nama Madrasah, yang didirikan mulai dari tingkat rendah, menengah, serta meliputi segala bidang ilmu pengetahuan. Selanjutnya lembaga-lembaga pendidikan ini berkembang menjadi akademi, bersamaan dengan itu didirikan pula perpustakaan-perpustakaan. Perpustakaan di masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena disamping terdapat kitab-kitab, di sana orang-orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi. Madrasah dan perguruan-perguruan tinggi itu diasuh oleh para tokoh-tokoh yang ahli dibidangnya, para ilmuan di masa itu hidupnya makmur karena dijamin oleh khalifah, seperti khalifah Harun Al-Rasyid. Selain itu di masa pemerintahan khalifah Al-Ma’mun digalakkan penerjemahan buku-buku asing, untuk menterjemahkan buku-buku Yunani beliau menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Karya terbesar dari khalifah Al-Ma’mun adalah pembangunan Bait al-Hikmah yang merupakan pusat penerjemahan yang berfungsi sebagi perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa inilah Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Keempat, terjadinya asimilasi antar bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia misalnya sangat kuat di bidang pemerintahan, bangsa Persia juga banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat, dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
Kelima, Dinasti Abbasiyah dengan setia melaksanakan hadits nabi yang berbunyi “pemimpin itu dari bari bangsa Quraisy”. Hadits tersebut mereka sekalipun dalam pemerintahannya dijalankan oleh bukan turunan Quraisy akan tetapi pemimpinnya tetap dari turunan Quraisy.
Keenam, diantara faktor yang menjadi bertahan lebih lamanya pemerintahan Abbasiyah adalah pusat pemerintahan diletakkan ditengah kota yang dikelilingi oleh dinasti-dinasti kecil yang setia atau mengiduk ke Bagadad. Sehingga apabila terjadi pemberontakkan atau penyerangan maka yang pertama kali menghadangnya adalah dinasti-dinasti kecil tersebut.
Dibalik faktor-faktor pendukung terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu agama dan syari’at seperti yang telah diuraikan di atas, satu hal yang tidak boleh kita lupakan begitu saja adalah, peran seluruh pemerintahan Islam pra dinasti Bani Abbasiyah, mulai dari pemerintahan kenabian Muhammad Shallallahu Alaihi Wasalam dan para Al Khulafa Al-Rasyidin, dan khilafah Bani Umayyah.
Pemerintahan bani Umayah adalah pemerintahan yang memiliki wibawa yang besar sekali, meliputi wilayah yang amat luas, mulai dari negeri sind dan berakhir di negeri Spanyol. Ia demikian kuatnya sehingga apabila seseorang menyaksikannya, pasti akan berpendapat bahwa usaha mengguncangkannya adalah sesuatu yang tidak mudah bagi siapapun. Namun jalan yang ditempuh oleh pemerintahan Bani Umayyah, meskipun ia dipatuhi oleh sejumlah besar manusia yang takluk kepada kekuasaannya, tidak sedikitpun memperoleh penghargaan dan simpati dalam hati mereka. Itulah sebabnya belum sampai berlalu satu abad dari kekuasaan mereka, kaum Bani Abbas berhasil menggulingkan singgasananya dan mencampakannya dengan mudah sekali. Dan ketika singgasana itu terjatuh, demikian pula para rajanya, tidak seorangpun yang meneteskan air mata menangisi mereka.
Adapun penyebab keberhasilan kaum penganjur berdirinya Khilafah Bani Abbas ialah karena mereka berhasil menyadarkan kaum muslimin pada umumnya, bahwa Bani Abbas adalah keluarga yang paling dekat kepada Nabi saw, dan bahwasanya mereka akan mengamalkan al-Qur’an dan Sunnah rasul dan menegakkan syari’at Allah.Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al Abbas dan Abu ja’far Al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775-786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Ma’mun (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M), al-Wasiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Khalifah Harun al-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang mencintai seni dan ilmu. Ia banyak meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan kalangan ilmuwan dan mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap seni.
Al-Rasyid mengembangkan satu akademi Gundishapur yang didirikan oleh Anushirvan pada tahun 555 M. pada masa pemerintahannya lembaga tersebut dijadikan sebagai pusat pengembangan dan penerjemahan bidang ilmu kedokteran, obat dan falsafah.
Dari gambaran diatas terlihat bahwa, Dinasti Bani Abbas pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. disinilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah

D. Kesimpulan
1. Adapun yang melatabelakangi berdirnya Dinasti Abbasiyah diantaranya adalah Awal kekuasaan Dinasti Bani Abbas ditandai dengan pembangkangan yang dilakukan oleh Dinasti Umayah di Andalusia (Spanyol). Di satu sisi, Abd al-Rahman al-Dakhil bergelar amir (jabatan kepala wilayah ketika itu); sedangkan disisi yang lain, ia tidak tunduk kepada khalifah yang ada di Baghdad. Pembangkangan Abd al-Rahman al-Dakhil terhadap Bani Abbas mirip dengan pembangkangan yang dilakukan oleh muawiyah terhadap Ali Ibn Abi Thalib. Dari segi durasi, kekuasaan Dinasti Bani Abbas termasuk lama, yaitu sekitar lima abad
2. Zaman pemerintahan Bani Abbas (Daulah Abbasiyah) merupakan zaman keemasan Islam dalam sepanjang sejarah peradaban Islam. Hal ini ditandai dengan berkembang pesatnya Ilmu Pengetahuan Agama dan Syari’at, seperti Ilmu Tafsir, Ilmu Qira’at, Hadits, Fiqh, Bahasa dan Retorika, Ilmu Kalam, Ilmu Sastra maupun ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, seperti Filsafat, Kedokteran, ilmu administrasi, Ilmu Teknik, Matematika, farmasi dan Kimia, Astronomi, Sejarah dan Geografi, Ilmu Optik dan lain-lain.
3. Faktor-faktor berkembangnya ilmu pengetahuan agama dan syari’at serta bertahan pemerintahan Bani Abbas, adalah:
a. Para penguasanya cinta kepada ilmu dan banyak memberikan motivasi kepada para ilmuan untuk pengembangan ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan agama.
b. Sikap dan kebijaksanaan politik yang kondusif.
c. Penyediaan sarana dan prasarana yang memadai untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
d. Setia melaksanakan hadits “pemimpin itu dari bangsa Quraisy”
e. Pusat pemerintahan dikelilingi oleh dinasti-dinasti kecil yang setia ke-Bagdad.

DAFTAR PUSTAKA
A.Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Cet.V; Jakarta : PT.Bulan Bintang, 1415H/1995M
Ali Ash-Shabuni, Muhammad, At Tibyan fi Ulumil Qur’an, Alih Bahasa Muhammad Qadirun Nur, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, Cet.I; Jakarta: Pustaka Amani, Jumadil Ula 1422H- Agustus 2001M.

Al-Khudary, Muhammad Bika, Ad Daulah Al-Abbasiyah, Muassasah Al- Kutub Ats-Tsaqafiyah, 1420H/1999M

Departemen Agama RI Direktorat jenderal Kelembagaan Agama Islam, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta, Juli 2002

Hassan, Ibrahim Hassan, Islamic History and Culture, alih bahasa Djahdan Humam, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Cet.I; Yogyakarta: Kota Kembang, 1989

Hasan, Ibrahim Hasan, Tarikh Islam Juz Kedua, Cet. 15; Beirut: Darul Jayl, Mesir: Maktabah An Nahdhah Al Mishriyah, 1422H-2001M

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II,Cet.I; Jakarta: UI-Press, 1984-1985

Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, politik, dan Budaya Ummat Islam, Cet.I; Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, September 2004

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Cet.XIV; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, Juni 20.

John L. Esposito (ed), The Oxpord History of Islam, New York, Oxpord University Press 1999

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta,1985

M.Natsir, Capita Selecta, NV Penerbitan W. van Hoeve, tanpa tahun

Philip K. Hitti, History of The Arabs London : Mac Millan, 1970

W. Montgomery Watt, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah Jakarta : P3M, 1988

Pembaharuan Islam di Mesir

PEMBAHARUAN ISLAM DI MESIR
Oleh: Ujang Sunandar

1. Pendahuluan
Mesir adalah salah satu negara di kawasan Timur Tengah yang sangat kaya dengan khazanah keislaman. Semenjak Islam masuk ke sana dan Amr bin ‘Ash menjadi gubernur pertama di bawah Khalifah Umar Ibn al-Khattab, di negeri ini telah muncul para pemikir muslim dan pembaharu yang sangat brilian. Pada zaman Islam klasik, kita mengetahui bahwa salah seorang imam madzhab Islam terbesar, Muhammad bin Idris al-Syafi’i atau yang dikenal dengan Imam Syafi’i, hampir separuh usianya beliau habiskan di Mesir. Pada tataran militer, negeri ini pernah dijadikan markas besar oleh mujâhid besar, Shalahuddin al-Ayyubi yang membebaskan al-Quds dari tangan kaum Nashrani.
Memasuki abad ke-18 umat islam dihadapkan pada berbagai persoalan yang sungguh menyakitkan. Pada saat umat Islam kesulitan menemukna sosok yang mempunyai kekuatan untuk bangkit kembali menemukan jati diri, maka persoalan ini semakin mengkristal, sehingga membawanya ke lembah kemunduran. Wajar jika banyak orang yang memandang bahwa abad ini sebagai “abad kegelapan” sejarah Islam.[1] Gambaran ini berpangkal pada banyaknya perpecahan yang terjadi dalam pemerintahan serta kemerosotan secara umum di dunia Islam. Kondisi ini diperparah lagi dengan semakin kuatnya kekuasaan kolonial barat pada abad ke-19 M. yang cukup melemahkan bahkan menghilangkan kekuasaan Islam. Ketika kesadaran orang Islam mulai tergugah, secara sistematis mereka membangun gerakan yang mampu memudarkan kendali-kendali barat yang mengikat.
Mesir adalah salah satu kancah perjuangan tempat pejuang Islam merapatkan barisan dalam mengejar ketertinggalan dan membendung berbagai pengaruh yang datang menghantam. Di kawasan ini pula banyak tokoh pembaharu terlahir yang sampai saat ini pengaruhnya masih berbekas khususnya di dunia Islam, tak terkecuali di Indonesia. Pada saat yang sama muncul pula berbagai ide yang mencita-citakan kembalinya umat Islam yang sebenarnya. Mesir, atas dasar ini dipandang menempati garda terdepan dalam perkembangan politik, sosial, intelektual, dan keagamaan di dunia Arab dan dunia Islam yang lebih luas.[2]

2. Latar Belakang Pembaharuan Islam di Mesir

2.1. Mesir Sebelum Datangnya Napoleon
Mesir adalah satu wilayah subur yang menjadi rebutan para penguasa di jaman itu. Letak setrategis Mesir tepatnya di daerah Bulan sabit, yang menjadi daerah perlintasan san dagang Hindia dan Eropa melalui Laut Merah. Lintas dagang ke Italia melalui Laut Tengah yang berdekatan dengan Bizantium. Bila ditinjau dari peta politik, Mesir merupakan daerah Strategis yang berdekatan dengan wilayah-wilayah ternama sebagai pusat pemerintahen Raja-raja (Khalifah ), seperti Kota Syam, Palestina, Hizaj, juga berdekatan dengan Mekkah dan Madinah serta Damaskus dan Baghdad.
Pada mesa kekuasaan Fathimiah, Mesir termasyhur sebagai kota pelabuhannya Alexsandria, yang ramai dikunjungi kapal-kapal dagang berbagai negeri sehingga menjadikan Cukai pelabuhan sebagai pendapatan utama pemerintah. Di samping hasil pajak ini. Mesir juga tercatat sebagai negara penghasil Tekstil yang berasal dari Kapas sutra, dan wol, tekstil ini dieksport ke negara-negara Eropa. Hasil tambang yang dapat digali dari bumi Mesir adalah: tembaga biji besi kristal dan kramik.
Di masa Fathimiah wilayah Mesir terkenal sebagai sentra dagang, seperti kota Fustat, Kairo, Diniyat, Qaus dan Iskandaria, Kota-kota ini sebagai pusat-pusat perdagangan dunia yang membuat Mesir menjadi makmur mengalahkan: iraq dan Baghdad. Setelah bergantinya kekuasaan ke tangan penguasa Mamalik atau Mamluk, Daerah Mesir ini adalah merupakan satu wilayah yang dapat dipertahankan dari kehancuran atas serangan yang dilakukan oleh Timur Lenk. Peninggalan kebudayaan kuno dan pedaban baru masih terlihat disini.
Pada masa pemerintahan Qutus dan Baybars dari Dinasti Mamalik, Mesir dapat pula diselamatkan dari serangan-serangan orang Mongol, maka pada masa ini Mesir menjadi tempat perlindungan penduduk Muslim Mesir dan Siria, dari itu penguasa Siria menyatakan tunduk di bawah kekuasaan Mamalik. Hal ini terjadi di masa kekuasaan Sultan Qutuz. Pada masa Sultan Baybars berkuasa, pemerimtahan Mamalik telah menjalin hubungan dagang dengan Perancis dan Italia, melalui jalur dagang yang telah dirintis oleh Dinasti Fathimiah.[3]
Keberhasilah dibidang ekonomi perdagangan ini didukung dengan pembangunan jaringan transportasi dan imformasi antar kota, baik melalui jalur laut maupun jalur darat. Ketenaran den keamanan negeri Mesir menyebar ke berbagai belahan dunia, kemakmuran dan keberhasilan pemerintah meningkatkan tarap hidup rakyatnya merupakan suatu daya tarik dari Negeri ini, untuk memikat pendatang dari belahan bumi lainnya. Para ilmuan yang merasa kurang aman berada di Baghdad melarikan diri ke Mesir kemudian mengembangkan keahliaan mereka di negeri ini, oleh sebab itu berkembanglah ilmu pengetahuan Sejarah, Kedokteran, Astromomi, Matematika dan lainnya.
Penguasa Mesir selanjutnya adalah Sultan Salim I yang melakukan Invasi ke Mesir pada tahun 1517, yang ketika itu Mesir masih di bawah kekuasaan Mamluk, sejak erjadinya Invasi idi Wilayah Mesir jatuh ke tangan pemerintahan Usmani sebagai salah atu dari Propinsi kerajaan Usmani. Meskipun secara de Jure Mesir dikuasai kerajaan smani, namun secara de Facto Mesir tetap di bawah kendali kaum Mamluk. Hasil bumi, ajak dan pengelolaan pendapatan dilakukan oleh Mamluk dan sebahagian disetor kepada emerintah Usmani di Istambul.
Pada abad ke- 17 M. kekuasaan kesultanan dan kerajaan mulai memudar, karena sebahagian besar negara dikuasai oleh Barat. Pada saat itu kekuasaan Sultan Usmani mulai memudar, maka pemerintahan Mesir mulai melepaskan diri dari Pusat pemerintahan kerajaan Usmani di Istambul Turki. Pemimpin Mesir tidak lagi mengirimkan hasil pajak yang dipungut dari rakyat Mesir secara paksa, kepada pemerintahan Usmani. Mesir dipimpin oleh seorang Syeikh, yaitu Syeikh al- Balad. Beliau yang mengatur pemerintahan bagi rakyat Mesir dan Sultan Usmani tetap mengirimkan seorang Pasya Turki ke Kairo yang bertindak sebagai wakil pemerintahan Usmani, Namun dalam kenyataannya tugas Pasya adalah sebagai duta besar dimulai sejak wafatnya Sulaiman al-Qanuni (1566 M), namun karena kerajaan ini besar dan kuat, maka dekadensi tersebut tidak terlihat secara drastis.
Kemunduran berlanjut pada masa Sultan Salim II tahun (1566-1573 M), pada dekade ini tercatat kekalahan Usmani dari angkatan laut yang di pimpim Don Joan dari Spanyol, sehingga Usmani kehilangan Tunisia. Pada masa Murad III, pengganti Salim II, Tunisia dapat direbut kembali, walaupun Murad III ini dikatakan berkeperibadian Jelek dan suka memperturutkan hawa nafsunya, kerajaan Usmani dimasanya dapat menguasai Kaukasus Tiflis di daerah Laut Hitam, merampas Tabriz, ibu kota Safawi. Sultan Murad III, digantikan oleh Muhammad III, (1595-1603 M), mementingkan kepentingan pribadinya, ia membunuh saudara laki-lakinya dan janda-janda ayahnya. Dalam situasi yang kurang menguntungkan ini, Austria dapat memukul kerajaan Usmani. Sultan Ahmad I yang memerintah (1603-16,17 M), sempat memperbaiki situasi dalam negeri tetapi kejayaan (Prestise) Usmani sudah memudar bagi orang-orang Eropa.
Selama dua abad setelah ditinggalkan oleh Sulaiman Al-Qanuni kerajaan Usmani terus mundur. Bila dianalisa lebih jauh penyebabnya adalah: Luasnya kekuasaan Usmani, Heterogenitas penduduk, Kelemahan penguasa, sehingga kekacauan tak teratasi, Berjangkitnya budaya pungli, sebagai tanda dekadensi moral dan rapuhnya pendirian para pejabat saat itu. Terjadinya pemberontakan Jenissari, merosotnya ekonomi akibat perang dan terjadinya stagnasi dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, para pemimpin Usmani lebih mengutamakan perkembangan di bidang militer. Bila dikaitkan dengan perkembangan pemikiran Ummat Islam priode ini terbelenggu dengan pola pemikiran tradisional semangat kebebasan berfikir tidak berkembang sejak masa al-Ghazali.[4]
Menurut pengembara Perancis, Founier yang berkunjung ke Mesir pada akhir abad XVII, keadaan Mesir waktu itu sama dengan Parsi. Rakyat Mesir dalam kebodohan, literatur ilmu alam, teknik, matematika, dan kerajinan tangan sangat sederhana. Tidak ada lagi pakar matematika, ilmu falak dan musik orang-orang Mesir mengagungkan dokter-dokter Eropa, ilmu astronomi disalahgunakan sebagai alat untuk meramal.[5]
Menurut salaby; dalam bidang militer pun Mesir lemah tenteranya tidak lagi memiliki kewibawaan dan ketangguhan, tidak menguasai strategi perang dan tidak memiliki kesatuan gerak.[6]
Dari uraian di atas dapatlah digambarkan bagaimana kelemahan Mesir kala itu, sehingga Napoleon dengan mudah dapat masuk ke Mesir.

2.2. Ekspedisi Napoleon ke Mesir
Sejarah dunia mencatat bahwa kerajaan-kerajaan Islam pernah mencapai puncak kejayaan, sebagai kekuatan Adi daya yang dapat menguasai benua Eropa. Kejayaan kerajaan Islam Abbasyiah di Baghdad banyak memberikan kontribusi keilmuan bagi masyarakat Barat, sehingga Barat mengalami kemajuan yang berarti di bidang keilmuan, kemajuan itu berlanjut setelah mereka mendapatkan pengaruh dan mengadopsi pemikiran Rasional Averoisme.
Penemuan alat-alat teknologi dan kapal uap serta penemuan benua Amerika oleh Colombus, menjadikan Barat lebih maju dari negara Islam. Sebaliknya bangsa Arab yang hidup dalam kegemilangan Kerajaan Islam terlena dengan kesenagan dan kejayaannya, sehingga mengakibatkan kemundura di bidang politik, ekonomi militer, bahkan di bidang ilmu pengetahuan. Kerajaan Islam Usmani mengalami kejayaan terpukul mundur, begitu juga kerajaan Safawi dan Monghul. Kemunduran itu semakin terasa ketika kerajaan kerajaan Islam berada di bawah peneterasi Barat. Mesir yang pada masa ini dikuasai oleh kerajaan Usmani dapat dikuasai oleh Napoleon dengan alasan Ekspedisi. Niat Napoleon untuk menjajah Mesir terbaca oleh para pemikir bangsa itu, untuk kemudian mereka mengadakan pendekatan kepada Napoleon sehingga akhirnya kedatangan Napoleon amat berarti bagi Masyarakat Mesir, sebagai titik awal dari perkembanagan pemikiran untuk memperoleh kemajuan di berbagai bidang kehidupan yang sebelumnya telah dilupakan.

2.3. Riwayat Hidup Napoleon
Nama Napoleon Bona Parte amat termasyur di dunia. Beliau dilahirkan pada tahun 1769 M, di Ajaccio, Carcica Italia. Putra dari Carlo dan Letiza Romalio Bonaparte. Napoleon Bona Parte sudah mendapatkan pendidikan militersejak masih belia, di Brienne, dan di Perancis. Beliau adalah seorang para ahli di bidang alteleri. Di dalam Enciclopedia Americana tercatat: Pada tahun 1778, Napoleon BonaPaerte yang berusia 9 tahun serta kakaknya Joseph berusia 10 tahun, memasuki pendidikan di The Oration College, Autun Perancis. Tiga bulan kemudian merka mengikuti pendidikan pada The Militerry School di Brienne dengan beasiswa dari Louis XVI. Karena kehebatannya di bidang Mate-matika Napoleon dikirim mengikuti latihan militer lanjutan di Ecole Militaire Paris dan menamatkan pendidikannya disini pada tahun 1784 M. Pada tahun 1791 Napoleon sudah berpangkat letnan kolonel.[7]
Kearifannya berperang selama terjadi Revolusi Perancis melanjutkannya ke jenjang pangkat Brigadir Jenderal di tahun 1793, pada usianya 24 tahun ia berhasil memimpin penyerbuan ke Italia dan beberapa negara Eropa lainnya. Prestasinya melonjak lagi ketika ia menduduki jabatan sebagai Konsul pertama Republik Perancis tahun 1799-1804, kemudian ia menjadi Kaisar Perancis yang memerintah secara diktator di tahun 1804-1815. Napoleon meninggal dunia di St. Helena, Atlantik pada tanggal 5 Mei 1821.[8]
Dilihat dari perjalanan karirnya di bidang militer dan masuk ke bidang politis dalam jangka waktu cepat, maka banyak ahli sejarah menyatakan bahwa Napoleon Bonaparte mempunyai ambisi yang besar, bukan hanya ingin menjadi penguasa tertinggi di Perancis tetapi ia juga ingin mengikuti jejak Alexander Agung dari Macedonia yang dapat menguasai Eropa dan Asia. Perkembangan politik di Eropa pada abad ke-18 diwarnai dengan gejolak sosial, maka terjadilah Revolusi dan Reformasi di berbagai bidang, dimulai dengan reformasi bidang pemilikan tanah, pertanian, ekonomi dan Industri Kekuatan kaum Feodal terpecah, oleh sebab itu masyararakat kelas menengah dapat bersuara dan memperoleh kebebasan untuk berdagang baik di Eropa atau di luar Eropa.
Di lihat dari bidang pemerintahan, Napoleon Bonaparte dikenal sebagai seorang diktator yang memberikan nuansa baru bagi pemerintahan Perancis, terutama di segi administrasi pemerintahan, bidang hukum, perubahan juga terjadi dibidang urusan gereja, pendidikan dan perbankan.[9] Sistem yang dijalankan oleh Napoleon selama 16 tahun di Eropa adalah mengatur stragegi militer Eropa dan politik alianci diplomatic serta membentuk koalisi untuk manghadapi musuh- musuh Perancis yang disebutnya sebagai musuh bersama yaitu Inggris. Beliau menyerukan Nasionalisme guna menghimpun suatu kekuatan baru bagi Eropa.

2.4.Tujuan Ekspedisi Napoleon dan Hasilnya
Ekspansi Eropa pada abad ke-17 merupakan suatu bentuk baru yang dimulai dengan perundingan Eropa dan pemerintahan Usmani, guna membentuk aliansi menghadapi Inggris. Kecerdikan politik seperti ini berjalan dengan baik. Aliansi ini akhirnya berubah menjadi suatu fakta perdagangan yang memberikan hak-hak istimewa kepada orang Eropa terutama Perancis untuk berniaga di daerah kekuasaan Usmani Orang-orang Perancis dilindungi keselamatan jiwanya dan hartanya juga kebebasan agamanya.[10] Kemudahan ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh orang Perancis. Iskandariah tidak hanya diramaikan oleh orang Perancis, tetapi didatangi oleh orang Inggris dan Italia.
Napoleon mendarat di Iskandariah (Alexandria) tepatnya 2 Juni 1798, tanggal 13 Juni 1798 pelabuhan penting ini jatuh ketangannya. Sembilan hari kemudian kota Rasyid yang terletak di sebelah Timurnya dikuasai, pada 21 Juli tentera Napoleon sampai kedaerah Piramid dekat Kairo, pertempuran terjadi di sini, kaum maklumat yang menguasai Mesir tak sanggup melawan senjata-senjata meriam Napoleon, mereka lari ke Cairo, di tempat ini kaum Mamluk mendapat simpati dan sokongan dari orang-orang Mesir, akhirnya mereka lari ke daerah Mesir Selatan. Pada tanggal 22 Juli 1798 Napoleon sudah menguasai Mesir setelah tiga minggu mendarat di pelabuhan Alexandria.[11]
Penguasaan terhadap Mesir ini merupakan usaha Napoleon untuk memutuskan komunikasi antara Inggris di barat dan India di Timur, disamping itu Perancis perlu memasarkan industri mereka. Ambisi pribadi Napoleon Bonaparte untuk menguasai kerajaan besar, sebagaimana penguasaan Alexander the Great dari Macedonia menguasai Eropa dan Asia, menjadi pendorong utama baginya untuk mengadakan ekpedisi ke Mesir. Ambisi Napoleon ini terungkap antara lain karena kegemaranya membaca buku-buku tentang Alexander. Pada masa kedatangan Napoleon ini, masyarakat Mesir terbagai dua kelompok yaitu : Muslim Turki dan Muslim Arab.[12]
Jika di analisa dari keadaan ini maka secara politis rakyat Mesir dengan mudah dapat dipengaruhi oleh Napoleon. Sebenarnya pada mulanya Napoleon diserahi tugas untuk memimpin operasi militer ke Inggris, Perancis berusaha mematahkan dominasi Inggris pada peta politik dan ekonomi internasional, namun Napoleon berkesimpulan operasi militer itu akan berhasil bila Perancis dapat menguasai jalur perdagangan Inggris, ia lalu mengalihkan rencana dan kemudian mengadakan invasi ke Mesir sekaligus menjadikanya sebagai basis kekuatan untuk meluaskan daerah ke bagian Timur, Invasi ini dilakukan dengan berpura-pura melindungi para pedangan Perancis dari perlakuan yang tidak baik yang dilakukan para penguasa terhadap mereka (Lokal mis rule).[13]
Bernard lewis meyatakan bahwa; Perancis terlebih dahulu mengadakan aliansi, pada mulanya aliansi ini bukan sebangi konsensi yang dibentuk karena kelemahan negeri Timur, melainkan sebagai hadiah cuma-cuma, hampir menyerupai ungkapan keramahan seseorang dhimmi pada waktu menyerahkan hak-hak mereka kepada golongan Muslim yang diperluas dengan suasana kebathinan (inner logic) Hukum Islam yang diterapkan kepada orang-orang asing (Kristen).
Penetrasi Perancis ini telah berkembang dengan cepat. Napoleon ke Mesir bukan hanya untuk membawa tentera. Dalam rombongan ini terdapat 500 kaum sipil dan 500 wanita, diantara mereka itu terdapat 16 ahli dalam berbagai bidang ilmu pengethuan. Napoleon juga membawa dua set alat pencetakan huruf lain, Arab dan Yunani.[14] Ekspedisi ini bukan semata-mata untuk kepentingan militer tetapi juga untuk kepentingan ilmiah. Di Mesir dibentuk suatu lembaga ilmiah, bernama Institud Aqypte yang mempunyai empat cabang : Bagian ilmu pasti, ilmu alam, ekonomi politik, bagian Sastra seni. Publikasi yang dihasilkan lembaga ini bernama La Decade Egyteinne dan majalah Le Courrier d’Egypte yang diterbitkan oleh Marc Auriel, seorang pengusaha yang turut serta dengan ekspedisi Napoleon.[15]
Di samping kemajuan materi ini, Napoleon juga membawa ide-ide baru yang sangat berpengaruh, bahkan dapat merubah pola pikir orang-orang Mesir pada waktu itu. Ide-ide tersebut antara lain, pertama: Sistem pemerintahan republik, yaitu sistem kenegaraan yang didalamnya kepala negara di pilih untuk jangka waktu tertentu, tunduk kepada undang-undang dasar, dan dapat dijatuhkan oleh perlemen; kedua: Persamaan, yaitu adanya persamaan kedudukan anatra penguasa dengan rakyat yang di perintah, serta turut berperan aktifnya rakyat dalam pemerintahan; ketiga: Kebangsaan, yaitu suatu ide yang terkandung dalam maklumat Napoleon bahwa orang Perancis merupakan suatu bangsa (nation), dan bahwa kaum mamalik adalah orang-orang asing yang datang dari Kaukasus ke Mesir. Dari ide ini sebelumnya tidak dikenal oleh orang- orang Mesir, yang mereka kenal adalah umat Islam (al-Ummah al-Islamiyah).[16]
Menjelang abad ke-18 tampak tanda-tanda kebangkitan kebudayaan Mesir secara spontanitas. Kebangkitan ini merupakan gerakan internal yang muncul dari dala negeri. Sekelompok penulis Mesir muncul di panggung kebudayaan yang tidak bisa disamakan dengan tiga abad sebelumnya baik dari seg jumlah maupun hasilnya. Hasan al-Jabarti menonjol di bidang matematika dan astronomi, dibindang sastra terkenal Muhamad al-Syabrawi Hasan al-Athhar (pernah memangku jabatan sebagai Syeih Al-Azhar), Isma’il al-Khasysyab bidang linguistik, bidang agama Muhammad Murtadha al-Zabidi dan di bidang sejarah Abdurrahman al-Jabarti. Abd Rahman al- Jabarti pernah mengunjungi lembaga yang dibuat Perancis ini, ia tertarik dengan perpustakaan Perancis yang menyimpan buku-buku ilmu pengetahuan dan agama yang berbahasa Arab, Persia dan berbahasa Turki. Diantara ilmuan yang dibawa ke Mesir itu terdapat orientalis yang mahir berbahasa Arab, mereka menerjemahkan segala peraturan yang dibuat Napoleon ke dalam bahasa arab.[17]
Eksprimen yang dilakukn ilmuan tersebut, dilengkapi dengan teskop, mikroskop, bahan-bahan kimia. Eksprimen mereka lakukan dengan sungguh-sungguh. Kegemaran mereka pada ilmu pengetahuan dan kesungguhan mereka ini sangat mengagumkan Jabarti.
Kekaguman dan keasingan yang dirasakan para ilmuan Mesir terhadap peralatan dan kegiatan ilmiah Perancis ni menunjukkan bagaimana tertingalnya umat islam dari Eropa. Politik Napoleon Bonaparte untuk mendapatkan simpati rakyat dan pemerintah Mesir adalah dengan membaurkan diri dalam kelompok masyarakat dan pemimpin Mesir ketika di adakan upacara-upacara dan hari-hari besar. Para ilmuan yang dibawa Napoleon mengerjakan ilmu-ilmu yang mereka miliki dibidang percetakan dan mengajarkan kepada orang-orang Mesir keteranmpilan mencetak buku-buku dengan peralatan yang dimiliki mereka.
Di bidang kebudayaan, pengaruh Barat lama kelamaan ditiru oleh orang-orang Mesir akhirnya terbiasa memakai baju kemeja dan jas serta pantelon. Para wanita Mesir juga terbiasa mengenakan rok dan membuka purdah mereka. Wanita tidak lagi dipingit di dalam rumah tanpa pendidikan. Kaum wanita muda sudah diperbolehkan untuk duduk di sekolah-sekolah khusus untuk wanita serta mendapatkan pendidikan agama dan pendidikan umum.
Konsep nasionalisme yang dibawa oleh Napoleon mulai dapat difahami oleh tokoh-tokoh masyarakat yang pada akhirnya mendorong mereka untuk kembali memikirlan kemajuan bangsa Mesir. Setelah berakhirnya masa kekuasan Napoleon ini maka muncullah ide baru dari kelompuk ilmuan dan pembuka negeri untuk membuka diri dan bangkit mengejar ketertinggalan dari barat. Dengan demikian ternyata ekspedisi Napoleon telah membuka mata umat Islam Mesir akan kelemahan dan kemunduran mereka. Kontak Islam dengan Barat saat itu berlainan dengan kontak Islam dengan barat pada masa periode klasik.

3. Pembaharuan Islam di Mesir
Kata yang lebih dikenal dan populerr untuk pembaharua ialah medernisasi. Dalam masayarakat barat kata modernisasi mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadaan-keadaan baru yang ditimbulkan ilmu pengetahuan modern.[18]
Perlu diketahui bahwa antara pembaharuan dengan pemurnian itu berbeda. Pembaharuan adalah merubah lembaga-lembaga, institusi-institusi, adat-istiadat, pemikiran dari yang lama ke yang baru yang disesuaikan dengan perubahan zaman. Sedangkan pemurnian adalah mengembalikan ajaran kepada yang sebenarnya.[19]
Pembaharuan dalam Islam mempunyai tujuan yang sama. Tetapi dalam pada itu perlu diingat bahwa dalam Islam ada ajran-ajaran yang bersifat mutlak yang tak dapat di ubah-ubah. Yang dapat diubah hanyalah ajaran-ajaran yang tidak bersifat mutlak, yaitu penafsiran atau interpretasi dari ajaran-ajran yang bersifat mutlak itu. Dengan kata lain pembaharuan mengenai ajaran-ajaran yang bersifat mutlak tak dapat diadakan. Pembaharuan dapat dilakukan mengenai interpretasi atau penafsiran dalam aspek-aspek teologi, hukum, politik dan seterusnya dan mengenai lembaga-lembaga. Perkataan pembaharuan atau modernisasi Islam kurang dapat dipakai; yang tepat adalah “pembaharuan atau modernisasi dalam Islam”.[20]
Para pembaharu pada umumnya untuk membangkitkan kesadaran keagamaan umat Islam. Di antara tokoh-tokoh pembaharu yang lahir dalam dunia Islam adalah sebagai berikut:

3.1. Muhammad Ali Pasha (1765 – 1849 M)
Bangkitnya gerakan Mesir dalam memperjuamgkan nasibnya sendiri berawal dari bangkitnya kaum muslimin untuk melawan tentara napoleon. Salah seorang perwira kenamaan yang mempunyai keberanian luar biasa yaitu Muhammad Ali, dianggap sebagai dasar gerakan Mesir dalam melawan penjajah.[21] Sejarah Mesir di buat oleh Muhammad Ali yang lahir bulan Januari 1976 di Kavala-Albania dekat pantai Macedonia. Dialah pendiri dinasti Mesir yang keturunannya memerintah Mesir sampai tahun 1952. dia muncul di Mesir tahun 1799 sebagai salah seorang diantara 300 orang anggota pasukan yang dikirim Albania atas perintah Sultan Utsmani untuk mengusir Perancis. Pada awalnya ia berkedudukan sebagai penasehat komandan pasukan Albania, karena kecakapannya dalam memimpin maka ia diangkat menjadi komandan penuh. Setelah berhasil mengusir Napoleon dari Mesir, ia di angkat menjadi jendral tahun 1801. pada bulan Nopember 1805 ia menjadi penguasa di Mesir dan bulan April 1806 ia di angkat menjadi Wali Negara Mesir dengan gelar Pasya. Muhammad Ali pada tahun 1807 berhasil mengusir Inggris sari Rosetta.[22]
Sekarang Muhammad Ali berkuasa penuh. Ia telah menjadi Wakil Sultan dengan resmi si Mesir dan rakyat Mesir sendiri tidsak mempunyai organisasi dan kekuatan untuk menentang kekuasaannya. Ia pun bertindak sebagai diktator. Muhammad ali, sebagai raja-raja Islam lainnya juga mementingkan soal yang bersangkutan dengan militer karena ia yakin bahwa kekuasaannya hanya dapat dipertahankan dan diperbesar dengan kekuatan militer. Tetapi berlainan dengan raja-raja lain, ia mengerti bahwa di belakang kekuatan militer itu mesti ada kekuatan ekonomi yang sanggup membelanjai pembaharuan dalam bidang militer dan bidang-bidang lain yang bersangkutan dengan urusan militer. Jadi ada dua hal yang penting baginya, kemajuan ekonomi dan kemajuan militer dan kedua hal ini menghendaki ilmu-ilmu modern yang telah di kenal orang-orang di Eropa.[23]
Dalam bidang pendidikan walaupun ia buta huruf, namun ia menaruh perhatian besar pada perkembangan ilmu. Hal ini terbukti dengan dibentuknya kementrian pendidikan. Setelah itu didirikan Sekolah Militer tahun 1815 M, Sekolah Teknik tahun 1816 M, Sekolah Kedokteran tahun 1827 M, Sekolah Pertanian tahun 1829 M, dan Sekolah Penerjemah tahun 1839 M. Dalam bidang pertanian ia memperbaiki irigasi dan membangun irigasi baru, juga didatangkan ahli pertanian dari luar negeri untuk meningkatkan produksi pertanian. Sedangkan dalam bidang ekonomi ia berusaha meningkatkan perdagangan hasil pertanian. Yang paling menghebohkan adalah merampas kekayaan para pengusaha Mesir dan memanfaatkan kekayaan kaum mamalik yang telah ditundukkannya.[24]
Langkah-langkah yang di tempuh Muhammad Ali itu sangat baru bagi rakyat Mesir, tentu saja mereka di satu ssi menyambutnya dengan gembira, apalagi banyak pemuda cerdas yang dikirimnya ke Eropa untuk belajar ilmu pengetahuan. Setelah menjadi sarjana, mereka ditugaskan untuk mengabdikan ilmunya. Inilah upaya nyata yang mengawali Mesir untuk bangkit. Ilmu pengetahuan modern pun telah mempengaruhi pola pikir dan sikap ilmiah generasi muda Mesir. Mereka selain bekerja sebagai birokrat, pendidikan, juga ada yang secara langsung menjadi arsitek bagi modernisasi Mesir di bawah pemerintah Muhammad Ali.
Dari sedikit pemaparan di atas kiranya dapat di lihat bahwa usaha-usaha pembaharuan yang dilakukan Muhammad Ali adalah:
Dalam bidang Militer
Jatuhnya Mesir ke tangan Napoleon Bonaparte menyadarkan Muhammad Ali Pasha. Ia melihat kemajuan yang dicapai negara-negara Barat, terutama Perancis, begitu hebat. Kemajuan dalam teknologi peperangan membuat Perancis dengan mudah menguasai Mesir (1798 – 1802 M). Setelah perancis dapat diusir Inggris tahun 1802 M, Muhammad Ali Pasha mengundang Save seorang perwira tinggi perancis dapat diusir untuk melatih tentara Mesir. Untuk keperluan itu mendirikan Sekolah Militer tahun 1815 M dan mengirim pelajar untuk belajar kemiliteran di Perancis.
Dalam bidang Pendidikan
Muhammad Ali Pasha sangat besar perhatiannya terhadap dunia pendidikan. Oleh karena itu itu, pada tahun 1815 M mendirikan Sekolah Militer, Sekolah Teknik tahun 1816 M, Sekolah Pertambangan tahun 1834 M dan Sekolah Penerjemahan tahun 1836. selain itu, ia juga banyak mengirim pelajar ke Perancis untuk belajar pengetahuan berapa sains dan teknologi Barat di Perancis.
Dalam bidang Ekonomi
Pengambilalihan pemilikan tanah oleh negara dan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan pembangunan negara. Dan untuk menjaga kesuburan tanah Mesir, ia membangun sistem irigasi, sehingga hasil pertanian menjadi lebih baik.[25]
Pembaharuan Ali pasha disebut dengan pembaharuan gerakan. Biasa pembaharuan itu berangkat dari sebuah konsep.

3.2. Al-Tahtawi (1801 – 1873 M)
Tahtawi dilahirkan di Thahta, sebuah kota kecil di Mesir, tiga tahun setelah Napoleon menginjakkan kakinya di Mesir. Ia melewati masa kecilnya di kota itu, mempelajari ilmu-ilmu agama dan mendengarkan cerita-cerita kejayaan Islam masa silam. Ia selalu tertarik mendengar kisah-kisah semacam itu, satu hal yang kemudian sangat mempengaruhi perjalanan intelektualnya.
Rif’at Badawi Rafi al-Tahtawi lahir dalam kondisi Mesir yang tidak menentu itu, perebutan kekuasaan antar dinasti, klan, dan penjajah Eropa. Tahtawi dilahirkan di Thahta, sebuah kota kecil di Mesir, tiga tahun setelah Napoleon menginjakkan kakinya di Mesir. Ia melewati masa kecilnya di kota itu, mempelajari ilmu-ilmu agama dan mendengarkan cerita-cerita kejayaan Islam masa silam. Ia selalu tertarik mendengar kisah-kisah semacam itu, satu hal yang kemudian sangat mempengaruhi perjalanan intelektualnya.
Tahtawi adalah bagian dari program perbaikan ekonomi-militer Mesir yang dicanangkan Muhammad Ali. Pada tahun 1826, ia ditunjuk menjadi pemimpin (imam) delegasi pelajar-tentara Mesir yang dikirim ke Paris, Perancis. Saat itu, Thahthawi sebetulnya sedang menikmati masa-masa indahnya belajar di al-Azhar. Ia mendapatkan guru yang baik, di antaranya Syeikh Hassan al-Attar, guru dan pembimbing yang juga merupakan teman diskusinya yang mengasyikkan. Ia mengerti betapa luhurnya tugas tentara. Karenanya, ia tak menolak ketika gurunya merekomendasikannya menjadi imam delegasi pelajar-tentara yang dikirim Muhammad Ali.
Al-Tahtawi, dalam kedudukannya sebagai ulama dari al-Azhar dikirim oleh Muhammad Ali Pasya ke Paris di tahun 1826 M, untuk menjadi imam bagi pelajar-pelajar Mesir yang ada di sana. Selama bertugas di Paris ia juga belajar sehingga ia mahir dalam bahasa Perancis. Sekembalinya di Cairo ia diangkat menjadi guru dan penerjemah di sekolah kedokteran. Di tahun 1836 M Sekolah Penerjemah didirikan dan ia diangkat menjadi kepalanya.[26]
Selain dari mengajar dan menerjemahkan buku-buku Al-Tahtawi juga mengarang. Diantara karangan-karangannya terdapat buku-buku mengenai pengalaman di Paris, tentang perekonomian tentang pemerintahan demokrasi, tentang pendidikan dan tentang ijtihad. Buku-buku itu mangandung ide-ide baru yang kemudian mempunyai pengaruh terhadap umat Islam Mesir.
Diantara karya-karyanya yang monumenta adalah sebagai berikut:
Takhlis al-Ibriz fi Talkhish Bariz. Buku ini berisi tentang kemajuan Eropa, terutama di Paris.
Manahij al-Bab al-Mishriyah fi Manahij al-Adab al-Ashriyah. Buku ini menerangkan tentang pentingnya sektor ekonomi bagi kemajuan negara. Didalamnya juga dijelaskan perbandingan pemerintahan Islam dan Eropa.
al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-banin. Buku ini menerangkan tentang pentingnya pendidikan diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan
Al-Qaulu al-Sadid fi al-Ijtihad wa al-Taqlid. Buku ini berisi tentang keharusan ijtihad dan pintu ijtihad menurutnya tidak tertutup.
Anwar Taufiq al-Jalil fi Akhbar al-Mishr wa Tautsiq Bani Ismail. Buku ini berisi tentang puji-pujian terhadap raja dalam memajukan pembangunan di Mesir, sehingga Mesir mengalami kemajuan pesat.[27]
Meskipun buku-buku tersebut dapat mewakili pemikiran pembaharuan al-Tahtawi, tetapi secara jelas dapat dilihat di bawah ini mengenai ide-ide pembaharuan yang dilontarkannya.
Ajaran Islam bukan hanya mementingkan soal akhirat semata, tetapi juga soal hidup di dunia. Umat Islam juga memperhatikan kehidupan di dunia ini.
Kekuasaan absolut raja harus dibatasi oleh syariat, dan raja harus bermusyawarah dengan ulama dan kaum intelektual.
Syariat harus diartikan sesuai dengan perkembangan modern.
Kaum ulama harus mempelajari filsafat, dan ilmu-ilmu pengetahuan modern agar dapat menyesuaikan syariat dengan kebutuhan masyarakat modern.
Pendidikan harus bersifat iniversal. Wanita harus memperoleh pendidikan yang sama dengan kaum pria. Istri harus menjadi teman dalam kehidupan intelektual dan sosial.
Umat Islam harus dinamis dan meningkatkan sifat statis.[28]

3.3. Jamaluddin al-Afghani
Nama lengkapnya adalah Sayyid Jamaludin Al Afgani. Ia lahir di Asad Abad tahun 1839 M dan wafat di Istambul tahun 1897 M. Sejak kecil ia sudah belajar membaca Al Qur’an. Kemudian belajar bahasa Arab, Persia, dan ilmu-ilmu lainnya, seperti tafsir, hadits, tasawuf dan fislsafat.
Sejak usia 20 tahun ia sudah menjadi pembantu Pangeran Dostn Muhammad Khan di Afganistan, dan tahun 1864 M menjadi penasehat Sher Ali Khan, dan menjadi perdana menteri pada masa pemerintahan Muhammad ‘Azham Khan. Hal itu disebabkan karena kecerdasan dan kepribadiannya yang menarik. Ia banyak memperoleh pengalaman dalam pengembaraannya ke beberapa negara. Mula-mula ke India, lalu ke Mesir memberi kuliah di hadapan kaum intelektual di Al-Azhar. Di antara muridnya yang terkenal adalah Muhammad Abduh dan Saad Zaglul.
Karena persoalan politik di Mesir, Jamaludin pergi ke Paris. Di kota ini ia mendirikan sebuah organisasi bernama Al-Urwatul Wutsqa yang beranggotakan muslim militan dari India, Mesir, Syria, dan Afrika Utara, yang bertujuan memperkuat persaudaraan Islam, membela dan mendorong umat Islam untuk mencapai kemajuan.[29]
Organisasi al-Urwatul Wutsqa kemudian menerbitkan majalah dengan nama yang sama dengan organisasi itu, Al-Urwatul Wutsqa. Karena ide dan isinya dianggap terlalu keras mengancam kekuasaan penjahat Barat, maka majalah ini dibredek dilarang untuk diterbitkan.
Pada tahun 1892 M Jamaludin al-Afgani pergi ke Istambul atas undangan pemerintah Sultan Abdul Hamid untuk memikirkan pelaksanaan politik Islam dalam menghadapi Barat. Saat itu kerajaan Turki Usmani terdesak oleh bangsa Eropa dan Sultan Hamid membutuhkan pendapat Jamaludin al-Afgani.
Keinginan Sultan Hamid tidak tercapai, karena adanya perbedaan persepsi mengenai sistem pemerintahan. Sebab Jamaludin sebagai pembaharu, ten tunya mempunyai pandangan liberal dan demokratis dalam pemerintahan. Tetapi Sultan Abdul Hamid sebagai penguasa melakukan pemerintahan dengan jalan diktator.
Karena perbedaan pendapat inilah akhirnya Jamaludin ditahan di penjara Istambul hingga wafat. Meskipun ia telah tiada, tapi pemikiran yang dicetuskannya banyak membawa pengaruh dalam dunia Islam. Di antara pembaharuan pemikiran yang dimunculkan Jamludin al-Afgani adalah :
Untuk mengembalikan kejayaan umat Islam di masa lalu dan sekaligus menghadapi dunia modern, umat Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang murni dan memahami Islam harus dengan resiko dan kebebasan.
Corak pemerintahan otokrasi dan absolut harus diganti dengan pemerintahan demokratis. Kepala negara harus bermusyawarah dengan pemuka masyarakat yang berpengalaman.
Kepala Negara harus tunduk kepada Undang-Undang.
Kemunduran umat Islam dalam bidang politik disebabkan karena terjadinya perpecahan dalam umat Islam itu sendiri.
Tidak ada pemisahan antara agama dan politik.
Pan-Islamisme atau rasa solidaritas antara umat Islam harus dihidupkan.

3.4. Muhammad Abduh (1849-1905 M)
Muhammad Abduh lahir di Mesir Hilir tahun 1849 M. Ayahnya bernama Abduh Hasan Khairullah, yang berasal dari Turki, dan Ibunya seorang Arab yang silsilahnya sampai kepada suku Umar bin Khatab.
Muhammad Abduh termasuk anak yang cerdas sekali, meskipun ia berasal dari keluarga petani miskin di Mesir. Sejak kecil ia tekun belajatr. Ia melanjutkan studinya di Al-Azhar.
Ketika di Al-Azhar, ia bertemu dengan Jamaludin al-Afgani yang datang ke Mesir. Ia sangat terkesan dengan pemikiran-pemikiran Afghani. Setelah menamatkan studinya di Al-Azhar tahun 1877 M ia mengajar di Al-Azhar, Daru Ulum serta mengajar dirumahnya. Selain itu, ia juga aktif menulis di al-Ahram.
Akibat ketidaksenangan dan perlawanannya terhadap penguasa, ia dan Jamaludin diusir dari ke Paris. Di kota ini mereka mendirikan majalah al-Urwatul Wutsqa. Setelah selama satu tahun di Perancis, ia di izinkan kembali ke Mesir dan kemudian di angkat menjadi rektor Al-Azhar, Kairo.
Sebagai rektor Al-Azhar, ia memasukkan kurikulum fislsafat dalam pendidikan di Al-Azhar. Upaya itu dilakukan untuk mengubah cara berfikir orang-orang Al-Azhar. Usahanya ini mendapat tantangan keras dari para Syeikh Al-Azhar lainnya yang masih berpikiran kolot. Oleh karena itu, usaha pembaharuan yang dilakukannya lewat pendidikan di Al-Azhar tidak berhasil.
Meskipun begitu, ide-ide pembaharuan yang dibawa Muhammad Abduh, membawa dampak positif bagi perkembangan pemikiran dalam Islam. Di antara ide-ide pembaharuannya adalah :
Penghapusan faham Jumud yang berkembang di dunia Islam saat itu.
Pembukaan pintu ijtihad, karena ijtihad merupakan dasar yang penting dalam menginterpretasikan kembali ajaran Islam.
Penghargaan terhadap akal. Abduh mengatakan bahwa Islam adalah agama rasional yang sejalan dengan akal. Sebab akallah Ilmu pengetahuan maju.
Kekuasaan negara harus dibatasi oleh konstitusi yang telah dibuat oleh negara bersangkutan
Memodernisasikan sistem pendidikan Islam di Al-Azhar.[30]
Islammaju harus melalui pendidikan.[31]

3.5. Muhammad Rasyid Ridla ( 1865-1935 M)
Rasyid Ridla dilahirkan di al-Qalamun, di pesisir Laut Tengah, pada tanggal 23 September 1865 M. Pendidikannya bermula di Madrasah al-Kitab di al-Qalamun. Kemudian di madrasah al-Rasyidiah di Tripoli. Di sini ia belajar nahwu, sharaf, berhitung, dasar-dasar geografi akidah ibadah, bahasa Arab dan Turki. Tetapi ia tidak betah di sekolah ini, karena bahasa pengantarnya bahasa Turi.
Kemudian ia melanjutkan pendidikan tingginya di Al-Azhar tahun 1898 M dan berguru kepada Muhammad Abduh. Bersama-sama Abduh, Rasyid Ridla menerbitkan majalah al Manar yang memiliki tujuan sama dengan al-Urwatul Wutsqa. Di antaranya adalah pembaharuan dalam bidang agama, sosial, ekonomi, memberantas khurafat dan bid’ah, menghilangkan faham fatalisme, serta faham-faham yang dibawa tarekat. Ia juga mendesak gurunya, Muhammad Abduh untuk menuliskan Al-Qur’an secara modern, yang kemudian dikenal dengan tafsir al-Manar.
Diatara ide-ide pembaharuannya adalah :
Menumbuhkan sikap aktif dan dinamis di kalangan umat.
Umat Islam harus meninggalkan sikap fatalisme (jabariyah)
Akal dapat dipergunakan untuk menafsirkan ayat maupun hadits dengan tidak meninggalkan prinsip umum.
Umat Islam harus menguasai sains dan teknologi jika ingin maju.
Kemunduran umat Islam disebabkan karena banyaknya unsur bid’ah dan khurafat yang masuk kedalam ajaran Islam.
Kebahagiaan di dunia da akhirat dperoleh melalui huum alam yang diciptakan Allah.
Perlunya menghidupkan kembali sistem pemerintahan khalifah.
Khalifah adalah penguasa di seluruh dunia Islam yang mengurusi bidang agama dan politik
Khalifah haruslah seorang mujtahid besar yang dengan bantuan para ulama dalam menerapkan prinsip-prinsip hukum Islam sesuai dengan tuntutan zaman.[32]

4. Cita-Cita dan Nilai yang Terkandung di dalam Gerakan Pembaharuan
Gerakan pembaharuan dunia Islam dipelopori oleh para tokoh Islam yang berusaha sekuat tenaga untuk kembali kepada ajaran Islam yang benar dan berusaha kembali untuk memajukan Islam dan umatnya. Para pemimpin menyadari kelemahan, ketertinggalan dan keterbelakangan, dari berbagai aspeknya setelah banyak diantara mereka berdialog atau berhadapan dengan kemajuan peradaban bangsa barat.
Berdasarkan pengalaman bangsa-bangsa Islam yang dijajah barat, munculah ide dan cita-cita para pembaharu untuk melakukan pembaharuan yang secara luas mereka sampaikan kepada umat Islam di dunia. Cita-cita itu antara lain adalah:
Memurnikan ajaran Islam dari segala unsur tahayul, bid’ah dan khurafat. Gerakan ini berusaha mengembalikan Islam sumber aslinya membersihkan tauhid dan syirik, membersihkan ibadah dari bid’ah, mengajarkan hidup sederhana sebagai pengganti kemewahan hidupyang melanda kaum muslimin saat itu. (Muhammad Ibn Abdul Wahhab)
Melepaskan Islam dari belenggu taklid yang melanda umat Islam saat itu, sehingga mereka menjadi jumud. (Muhammad Abduh)
Memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers, memper4kuat faham nasionalisme yang diwujudkan dalam bentuk partai al hzb al-Wathani dan menanamkan faham patriotisme bagi umat Islam. (Tahtawi)
Memperkuat ukhwah islamiyah, menekankan pembaharuan Islam dalam bidang politik pemerintahan dan agama, dengan ide pkok pan islamisme (Jamaludin al-Afgani)
Menumbuhkan sikap aktif dan dinamis, meninggalkan sikap fatalisme, penggunaan akal dalam memahami ajaran islam serta keharusan umat Islam untuk menguasai sains dan teknologi (Rasyid Ridha).
Perlunya dilakukan ijtihad baru, karena pendapat ulama terdahulu tidak mengikat dan penafsiran kembali ajaran Islam agar sesuai dengan perkembangan zaman (Sayyid Ahmad Khan)[33]
Beberapa dasawarsa setelah gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh para pemikir Mesir di atas, negeri ini dijadikan contoh yang paling menonjol mengenai dinamika keberagaman, hubungan antar agama dan masyarakat, tantangannya pada negara dan dampaknya pada proses demokratisasi.[34] Mesir juga tempat lahirnya nasionalisme Arab dan kebangkitan Islam di bawah tiga pemimpin terakhir, yaitu Gammal Abdul Nasser (1918 – 1970 M), Anwar Sadat (1918 – 1981 M), dan Husni Mubarak (lahir 1928 M). Tendensi gerakan yang dapat diamati pada masa ini lebih ke arah pergolakan politk.

5. Kesimpulan

1. Kebangkitan gerakan dan pemikiran modernisasi Islam di Mesir dilatarbelakangi oleh kesadaran akan adanya intervensi bahkan penindasan terhadap bangsa Mesir yang dilakukan oleh pihak Eropa, terutama pimpinan Napoleon Bonaparte. Kondisi ini juga membawa bangsa Nesir untuk melakukan kontak dengan dunia Barat yang sudah maju. Selain mendatangkan banyak kerugian, kontak ini juga memberikan banyak keuntungan bagi bangsa Mesir dengan munculnya dasar-dasar modernisme peradaban yang sangat mendukung mereka untuk bergerak naik di kancah peradaban umat Islam khususnya dan dunia umumnya.
2. bangkitnya gerakan dan pemikiran modernisasi di Mesir diawali oleh munculnya kekuatan baru yang dimotori Muhammad Ali Pasya dari keturunan Turki. Dalam upayanya mengadakan pembaharuan, ia menata sistem politik dan pemerintahan Mesir, melebarkan pengaruh persatuan, membangun sistem pendidikan, menyerap ilmu pengetahuan dari luar sebanyak-banyaknya guna mencerdaskan untuk belajar diluar untuk mengabdikan ilmunya dalam meningkatkan kualitas intelektual di negaranya itu.
3. Dalam dekade selanjutnya gerakan dan pemikiran modernisasi Islam di Mesir menampakkan perkembangan yang pesat dengan munculnya berbagai gagasan dan gerakan yang berbeda dengan sebelumnya dalam berbagai bidang misalnya: a). Bidang sosial politik dengan munculnya gagasan Trias Politika, patriotisme, emansipasi wanita, dan juga persatuan umat Islam seluruh dunia dalam rangka membendung pengaruh-pengaruh dunia Barat yang berusaha merongrong Islam dan kaum muslimin yang diwujudkan dengan berbagai gerakan sosial; b). Bidang pendidikan dengan memunculkan gagasan bahwa semua bangsa Mesir harus mengenyam pendidikan secara merata, yang diupayakan lewat penataan kembali sistem pendidikan; c). Bidang agama dan teologi dengan munculnya gagasan pemurnian ajaran Islam, menghilangkan kejumudan berpikir dan sikap fatalistik yang merupakan penyebab pokok kemunduran umat Islam; dan lain-lain, tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh tidak hanya di Mesir, tetapi juga seluruh dunia khususnya Islam. Mereka antara lain Rif’ah Badwi Raf’i al-Tahtawi, Jamaludin al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridla, dan beberapa pengikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1993

Bernard Lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1988

Dudung Abdurrahman, Sejarah Perasaban Islam, Yogyakarta, Lesfi, 2003

Harun Nasution, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspek, Jilid II, Jakarta, UI Press, 1985

Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan Bintang, 1975

Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Peradaban Islam, Yogyakarta, Kota Kembang, 1997

John Ober Voll, Politik Islam, Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern, ter.Ajat Sudrajat, yogyakarta: Titian Illahi, 1997

John L.Eposito & O.Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, terj.Rahmani Astuti, Bandung, Mizan 1999

Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang, PT.Karya Toha Putra, 1997

Napoleon, Encyclopedia Americana, Vol. 19 Glorier Inc, 1985

Naurozzaman Shiddiqy, Sejarah Modern, Mesir, Syria, Afrika Utara, dan Arabia, Yogyakarta, Matahari Masa, 1980

Nazh Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World, London & New York: Routledge, 1991

Philip K.Hitti, History of The Arabs, London: Macmillan Press, 1970








[1] John Ober Voll, Politik Islam, Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern, ter.Ajat Sudrajat, yogyakarta: Titian Illahi, 1997, hlm: 59
[2] Selanjutnya simak kata Nazh Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World, London & New York: Routledge, 1991, pada bab IV
[3] Philip K.Hitti, History of The Arabs, London: Macmillan Press, 1970, hlm: 493
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 1993, hlm: 163-169
[5] Ahmad Amin. Yaum al-Isla, Mathba’ah an-Nahdhah al-Misriyah, Mesir, tt. hlm: 129
[6] Syalabi. Mausu’ah al-Tarikh al-Islami wa al-Nadarah al-Islamiyah, Mathba’ah Nahdhah Mesir, tt hlm: 283
[7] Napoleon, Encyclopedia Americana, Vol. 19 Glorier Inc, 1985, hlm: 728-729
[8] Napoleon, The New Encyclopedia Britanica, VII, William B. Publisher, Chicago, 1973, hlm: 189-190
[9] Napoleon , ibid, hal 48
[10] Bernard Lewis, Bangsa Arab Dalam Lintasan Sejarah, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta 1988, Hal 180
[11] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, Hal 29
[12] Philip K.Hitti, History of The Arabs, London: Macmillan Press, 1970, hlm 180
[13] Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1988, hlm 88
[14] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang,, Jakarta, 1975, hlm 30
[15] Dudung Abdurrahman, Sejarah Perasaban Islam, Lesfi, Yogyakarta, 2003, hlm: 301
[16] Harun Nasution, op.cit, hlm: 31-33
[17] Harun Nasution, op.cit, hlm: 33
[18] Harun Nasution, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspek, Jilid II, Jakarta, UI Press, 1985, hlm: 91
[19] Matakuliah Sejarah Peradaban Islam dari Prof. Dr. H. I. Nurol Aen, MA, PPs UIN SGD Bandung, tanggal 26 Desember 2008
[20] Harun Nasution, op.cit, hlm: 91-92
[21] Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan Peradaban Islam, Yogyakarta, Kota Kembang, 1997, hlm: 357
[22] Naurozzaman Shiddiqy, Sejarah Modern, Mesir, Syria, Afrika Utara, dan Arabia, Yogyakarta, Matahari Masa, 1980, hlm: 13
[23] Harun Nasution, op cit, hlm: 35-36
[24] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1998, hlm: 32
[25] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, PT.Karya Toha Putra, Semarang, 1997, hlm: 172-173
[26] Harun Nasution, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspek, Jilid II, Jakarta, UI Press, 1985, hlm: 96-97
[27] Murodi, op.cit, hlm: 174
[28] Harun Nasution, op.cit, hlm: 97
[29] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm: 53
[30] Murodi, op.cit, hlm: 178
[31] Matakuliah Sejarah Peradaban Islam dari Prof. Dr. H. I. Nurol Aen, MA, PPs UIN SGD Bandung, tanggal 26 Desember 2008
[32] Murodi, ibid, hlm: 179
[33] Murodi, ibid, hlm: 182-183
[34] John L.Eposito & O.Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim, terj.Rahmani Astuti, Bandung, Mizan 1999, hlm: 234